Modernis.co, Malang – Indonesia, tanah air yang kita cintai ini telah merdeka sejak 1945. Semenjak kemerdekaan, Indonesia telah 7 kali berganti presiden, dan berdiri sebagai negara yang benar-benar berdaulat dan diakui di dunia internasional semenjak 1947.
Terlepas dari dinamika politik dan pertarungan konsep antar tokoh negara ini, sejak kemerdekaan status Indonesia adalah negara berkembang atau negara dunia ketiga. Selayaknya negara dunia ketiga, yang banyak muncul di permukaan adalah permasalahan, bukan prestasi.
Seperti halnya kemiskinan, korupsi, kebodohan, dan lain sebagainya, permasalahan di Indonesia jika ditelusuri ibarat benang yang yang saling melilit dan sukar untuk diluruskan. Kesenjangan Indonesia seperti yang dilansir republika.co.id pada tahun 2018 Indonesia merupakan negara peringkat ke 7.
Hal ini menunjukan kekayaan yang dimiliki Indonesia hanya dimiliki segelintir orang saja. Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, berdasarkan data yang dirilis oleh The World Economic Forum Indonesia memiliki nilai 37 dari penilaian angka tertinggi 100 (bersih dari korupsi).
Jika dipersentasekan maka 63% pejabat di Indonesia melakukan korupsi. Aspek literasi pun sama, per april 2018 berdasarkan data yang dirilis oleh The World’s Most Literate Study Indonesia memiliki peringkat ke 60 dari 61 Negara, hal ini semakin menjadikan kesimpulan bahwa Indonesia merupakan negara yang penuh masalah.
Semua orang tau bahwa Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alamnya, namun melimpahnya sumber daya alam Indonesia tidak mampu mensejahterakan rakyat Indonesia, sebab utamanya adalah sumber daya alam Indonesia banyak yang dikuasai oleh asing, sehingga rakyat pun tidak dapat menikmatinya.
Padahal jika kita melihat undang-undang dasar 1945 berbunyi indah dengan nada bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun pada kenyataannya hampir seluruh sumber daya alam Indonesia dikuasai oleh asing hanya dengan alasan alih teknologi, alih manajemen dan pembukaan lapangan kerja. Padahal kita tau freepot pun telah memecat delapan ribu karyawan yang sampai saat ini nasibnya tidak jelas, lalu dimana kemakmuran yang dimaksud?
Indonesia juga merupakan sasaran empuk keserakahan para pemodal yang menjadikan Indonesia sebagai lahan penumpukan kapitalnya. Sampai saat ini SDM maupun SDA Indonesia dijadikan sebagai bahan eksploitasi para pemodal yang serakah. Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan dengan mudah dieksploitasi dan dengan harga murah.
Sumber daya manusia yang jumlahnya banyak juga merupakan pasar yang luas bagi para pemodal agar rakyat membeli barang yang sebenarnya milik mereka sendiri, serta banyaknya sumber daya manusia yang melimpah dapat dieksploitasi menjadi buruh dengan bayaran murah. Hal ini akan terus terjadi apabila para pemimpin bangsa kita dapat dengan mudah mempersilahkan para pemodal untuk masuk dengan selleluasa mungkin di Indonesia.
Pada tahun 2019 ini Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi tertinggi yaitu pemilihan presiden. Euforia pemilihan presiden ini sebenarnya sudah terjadi sejak 5 tahun lalu, dimulai dari kekalahan Prabowo Subianto pada saat pilpres 2014. Dari situ dimulailah perang kritik dalam segala aspek dan dalam segala dimensi.
Kubu yang kalah dalam pilpres mulai mengkritik kubu yang terpilih. Perang kritik mengkritik pun tak terhindarkan, hampir seluruh media sosial dan ruang-ruang publik menjadi lahan kritik mengkritik antar dua kubu pendukung masing-masing sehingga seakan-akan Indonesia ini berubah menjadi dua kubu yaitu cebong dan kampret.
Pada pilpres kali ini pun calon yang mengajukan diri sebagai presiden masih sama seperti di tahun 2014. Kebisingan yang dimulai sejak 2014 pun semakin menjadi-jadi, semua orang di berbagai sudut sibuk berdebat membela calonnya masing-masing dengan segala argumen, baik yang masuk akal maupun asal berdebat kusir membela calon yang didukungnya.
Ditambah lagi setelah dimulainya kampanye dan digelarnya debat calon presiden wakil presiden pada 17 Januari 2019 menambah bumbu-bumbu perdebatan yang rawan akan perpecahan. Ibarat dua buah besi yang selalu digesekkan akan semakin menajam dan berbahaya.
Padahal jika kita cermati lebih mendalam dan bahkan sudah bukan menjadi rahasia lagi, menjadi presiden di Indonesia harus mengeluarkan biaya (cost) yang tidak sedikit jumlahnya. Hal tersebut yang seharusnya kita cermati dan sadari bersama dan hal ini pun banyak diungkapkan oleh para pengamat politik.
Selain modal untuk kampanye, di negara yang sedang berkembang ini, siapa yang tidak mau mendapatkan uang seratus ribu sampai dua ratus ribu secara cuma-cuma? Bisa dibayangkan jika menjadi presiden di Indonesia diharuskan menggelontorkan dana yang tidak sedikit.
Lalu dari mana mendapatkan dana sebesar itu untuk menjadi seorang presiden? Seharusnya pertanyaan ini yang muncul di permukaan. Jika itu adalah uang sendiri maka tidak mungkin presiden yang terpilih tidak mencari gantinya, atau jika dimodali orang lain atau sebut saja para investor asing, maka itu tidak gratis.
Maka konsekuensi logisnya adalah pemberian balas budi bagi mereka yang memberi modal dengan membuka seluas-luasnya investasi di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam dengan kos produksi yang murah dan pasar yang luas.
Maka alhasil, rakyat tidak bisa menikmati sumber daya alam yang sejatinya dalam bahasa undang-undang adalah untuk kemakmuran rakyat. Sejatinya pilpres bukan solusi atas labirin permasalahan Indonesia yang semakin menjadi-jadi.
Pilpres justru akan menambah pusaran labirin permasalahan yang semakin rumit bagi Indonesia. Maka tak perlulah menjadi cebong sejati ataupun kampret sejati yang buta dan fanatik, sebab hal itu akan banyak menambah persoalan kebangsaan Indonesia, terutama dalam aspek persatuan dan kesatuan.
Lebih baik bersikap biasa saja dalam menanggapi pilpres ini. Tidak perlu ikut-ikut berdebat di berbagai ruang publik, apalagi jika bukan timses, jika memang punya pilihan silahkan gunakan hak sesuai dengan prosedur dan tak perlu menjadi relawan jubir dan ahli debat pasangan capres dan cawapres.
OLeh: Adi Irfan Marjuqi, (Mahasiswa Pasca UMM & Peneliti di Peace Literacy Network)